PEMBUKTIAN SEORANG ANAK PAPUA





    Panggil aku Martin, murid yang sedang duduk di bangku SMA kelas 12 di sekolah SMA Negeri 1 Jayapura. Awalnya aku tinggal di pelosok Pulau Papua, tetapi bapakku mendapat pekerjaan yang lebih baik, maka kami pun pindah ke kota Jayapura. Aku ingin berkuliah di Universitas Indonesia atau yang lebih dikenal dengan UI, namun aku harus belajar lebih giat karena sebulan lagi ada SNBT.


“Woi, Martin!” teriakan yang biasa kudengar saat datang ke kelas, dia memiliki wajah kucel dan rambut yang berantakan, Agus. Aku pun menoleh dan membalas sapaannya. “Bagaimana kabar ko?” Aku bertanya pada Agus, “Su baik-baik saja,” Jawab Agus. Pelajaran pertama pun dimulai, Guru Matematika pun masuk ke kelas dan anak-anak yang lain pun diam dan memperhatikan sang guru saat mengajar. Saat pelajaran mau selesai sang guru pun memperingatkan kami agar belajar sungguh-sungguh untuk persiapan ujian SNBT.


Perjalanan pulang sekolah. Agus pun ikut bersamaku, dan kami pun sedikit berbincang. “Martin, ko yakin betul mau kuliah di UI kah? Jauh itu Jakarta, e,” tanya Agus sambil garuk kepala. Aku pun menoleh “Iya, Gus. Sa tra main-main. Sa mau bukti kalau anak Papua juga bisa bersaing di sana,” Kami pun pulang ke rumah masing-masing, dan aku pun langsung ke kamar untuk belajar. “Aduh, susah kali ah,” gumamku saat sedang belajar biologi.


Malam pun tiba, dan Ibuku memanggilku “Martin, mari makan malam sama-sama e,”. Aku pun menjawab dari kamar “Dolo, Bu,”. Setelah merapikan alat belajarku, aku pun turun ke meja makan untuk makan malam bersama. Setelah makan malam selesai, aku pun kembali ke kamar untuk lanjut belajar. Namun, saat sedang asik belajar, tiba-tiba handphone-ku berdering. Aku pun bergegas untuk cek siapa yang menelpon. Saat kulihat, ternyata itu adalah Timur, teman lamaku. Aku pun mengangkat teleponnya, “Halo Martin, apa kabar ko?” Tanya Timur, aku pun menjawab “Su baik-baik saja, kudengar-dengar ko juga pengen masuk UI,” Lalu Timur pun berkata “Ya. Semoga kita bareng-bareng masuk UI,” Aku pun bertanya alasan dia menelpon-ku, ternyata dia ingin cara belajar yang efektif, setelah itu aku pun memberi tahu caranya. Tak lama setelah itu, kami pun menutup telepon karena sudah larut malam, dan aku pun beranjak tidur. 


Pagi telah tiba, suara burung dan sinar matahari yang menembus celah jendela membangunkanku. Aku menguap pelan lalu segera bangun dari tempat tidur. Setelah mandi dan berpakaian rapi, aku menyiapkan buku-buku yang akan kubawa ke sekolah. “Martin, jangan lupa sarapan dulu!” teriak Ibu dari dapur. Aku pun segera ke meja makan, mengambil roti dan segelas susu.

“Bu, doakan Martin ya, supaya bisa masuk UI,” kataku sambil tersenyum.
Ibu pun menatapku dengan lembut, “Tentu, Nak. Ibu yakin ko bisa. Yang penting jangan malas belajar,” Aku mengangguk mantap dan berpamitan. “Iya, Bu. Sa berangkat dulu,”

Di sekolah, suasana mulai terasa tegang. Semua teman-temanku tampak serius membahas soal-soal latihan SNBT. Guru-guru pun semakin sering memberi kami motivasi. Saat jam istirahat, Agus menghampiriku lagi. “Martin, kalau ko lulus nanti, jangan lupa kami di sini e,” katanya setengah bercanda. Aku pun tertawa kecil, “Tenang saja, Gus. Sa bakal ingat semua teman di sini.”

Hari demi hari berlalu, dan ujian SNBT pun semakin dekat. Malam sebelum ujian, aku duduk di meja belajarku sambil menatap buku-buku yang sudah kusentuh entah berapa kali. “Ini kesempatan terakhir, Martin. Ko harus kasih yang terbaik,” kataku dalam hati.

Keesokan harinya, aku berangkat ke tempat ujian dengan hati berdebar. Di sana, aku bertemu banyak peserta dari berbagai sekolah. Aku menarik napas dalam-dalam, berdoa sejenak, lalu mulai mengerjakan soal. Waktu berjalan cepat, dan tanpa sadar ujian pun selesai.

Beberapa minggu kemudian, hasil SNBT diumumkan. Tanganku gemetar saat hendak membuka laman pengumuman. Aku menutup mata sejenak dan berdoa. Saat kubuka mataku dan melihat hasilnya, air mataku menetes pelan. “Astaga… aku diterima di Universitas Indonesia,” bisikku haru.

Aku pun segera berlari keluar kamar dan memanggil Ibu, “Bu! Sa lulus! Sa diterima di UI!” Ibu memelukku erat sambil menangis bahagia. Dari luar rumah terdengar suara Agus berteriak, “Selamat, Martin! Sa bangga sekali!”

Hari itu menjadi hari terbaik selama hidupku. Aku membanggkan orang tuaku, bahkan juga tetangga-tetanggaku, karena jarang sekali orang Papua yang dapat bersekolah UI.

Hari-hari setelah pengumuman itu terasa seperti mimpi. Semua orang di rumah ikut bahagia, bahkan para tetangga pun datang memberi selamat. “Wah, hebat sekali anak Ibu ini! Bisa tembus UI!” kata salah satu tetangga sambil menepuk pundakku. Ibu hanya tersenyum sambil memelukku erat, “Martin, perjuangan baru dimulai, Nak. Jaga nama baik Papua di sana.”

Beberapa minggu kemudian, aku pun bersiap untuk berangkat ke Jakarta. Ini adalah pertama kalinya aku meninggalkan tanah kelahiran sejauh itu. Sesampainya di Jakarta, suasana benar-benar berbeda. Udara panas, jalanan ramai, dan orang-orang berbicara cepat dengan logat yang belum begitu kupahami. Aku sedikit gugup, tapi juga kagum. “Wah, jadi ini Jakarta yang dikatakan orang-orang itu?” pikirku dalam hati.

Hari pertama kuliah di UI tiba. Aku mengenakan jaket almamater kuning yang baru diberikan oleh Panitia OSPEK. Di aula besar, ratusan mahasiswa baru duduk dengan wajah tidak sabaran. Tak lama setelah itu sang pembawa acara berkata, “Selamat datang di Universitas Indonesia,”. Semua mahasiswa baru bertepuk tangan, dan aku pun juga ikut bertepuk tangan.

Perkuliahan pun dimulai. Aku memilih jurusan Manajemen Digital. Tidak mudah belajar disini. Banyak materi yang sulit, tugas menumpuk, dan kadang aku merasa minder dibanding teman-teman dari sekolah besar di Jawa. Tapi setiap kali aku hampir menyerah, aku teringat kata-kata Ibu, “Jangan lupa dari mana ko berasal, dan untuk apa ko berjuang.

Pada suatu hari, aku pun bertemu dengan Timur. Dia ternyata juga berhasil masuk ke UI, tetapi bedanya, dia memakai jalur SNBP. “Hei Martin! Apa kabar ko?” tanya Timur, “Su baik-baik saja” Balasku. Kami pun sempat berbincang sekedar basa-basi, tetapi aku akhirnya tahu bahwa Timur masuk ke jurusan Teknik Mesin.

Tiga setengah tahun berlalu begitu cepat. Perjalanan Martin di Universitas Indonesia bagai mimpi yang bergulir dalam kecepatan tinggi. Hari-hari diisi dengan kuliah, praktikum, mengerjakan tugas kelompok hingga larut malam di perpustakaan, dan beradaptasi dengan kehidupan metropolitan Jakarta yang tak pernah tidur. 

Ada saat-saat dimana rasa rindu akan kampung halaman di Jayapura dan kesederhanaan hidup di sana begitu menyiksa. Ada juga momen-momen frustasi ketika nilai ujian tidak sesuai harapan atau ketika diskusi kelompok terasa begitu menantang karena perbedaan latar belakang. Namun, setiap kali hampir menyerah, bayangan wajah ibunya, teriakan bangga Agus, dan tekadnya untuk membuktikan bahwa anak Papua bisa bersaing, memberinya kekuatan untuk bangkit dan terus melangkah. 

Martin tidak hanya bertahan, ia bersinar. Ketekunan dan disiplinnya yang ia bawa dari Papua menjadi senjatanya. Perlahan-lahan, rasa minder itu berubah menjadi percaya diri. Ia aktif dalam organisasi mahasiswa, bahkan pernah memimpin sebuah proyek sosial yang diakui oleh fakultas. 

Akhirnya, tibalah hari yang dinantikan. Wisuda Sarjana Universitas Indonesia. Di Aula besar UI, suasana khidmat dan haru menyelimuti ruangan. Para wisudawan dan wisudawati duduk berbaris rapi dengan mengenakan toga hitam. Martin duduk di antara mereka, hatinya berdebar kencang campur bangga. Ia memakai kain tradisional Papua, Songket Papua, dengan motif yang indah dan penuh makna, yang sengaja ia kenakan di balik jubah toganya sebagai simbol dari mana ia berasal. 

Saat namanya dipanggil, "Martin, lulusan Program Studi Manajemen Digital, dengan predikat Cum Laude dan IPK 3.75," langkahnya terasa begitu ringan. Sorak-sorai kecil dari seisi ruangan, terutama dari arah keluarganya, membuat matanya berkaca-kaca. 

Dengan air mata yang hampir menetes, ia berjalan menuju panggung, menjabat tangan Rektor dan Dekan, lalu sedikit membungkuk untuk menerima gulungan ijazah. Sorotan kamera menyilaukan, tetapi senyumnya tidak dapat ia sembunyikan. Ini adalah puncak dari semua perjuangannya, keringat, dan air mata. 

Setelah prosesi wisuda usai, ia turun dari panggung dan disambut oleh pelukan hangat. "Selamat, Nak! Ibu dan Bapak bangga sekali!" teriak ibunya sambil memeluknya erat, tidak peduli air mata yang mengalir di pipinya. Bapaknya, yang biasanya pendiam, hanya bisa memeluk bahu Martin dengan erat, matanya merah. "Selamat Martin!" Agus yang mengirim SMS kepada Martin. Dia tidak bisa menghadiri ke acara kelulusannya karena terlalu jauh. Tak ketinggalan, Timur juga hadir dengan jaket almamater Teknik Mesinnya, ikut bergabung dalam pelukan itu. 

Dalam keriuhan kebahagiaan itu, Martin membuka sedikit jubah toganya, memperlihatkan kain Songket Papua yang ia kenakan. 

Hari itu, Martin tidak hanya menyandang gelar Sarjana Manajemen Digital Cum Laude dari universitas terbaik di Indonesia. Ia juga menjadi bukti hidup, sebuah inspirasi bagi anak-anak muda di tanah kelahirannya, bahwa jarak dan latar belakang bukanlah penghalang untuk meraih mimpi. Perjuangannya baru saja mencapai satu puncak, dan ia siap untuk memulai babak baru berikutnya, membawa nama baik keluarganya, Papua, dan Indonesia dengan lebih bangga lagi.


— THE END —


Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama